MUARA ENIM, ENIMTV – Sepasang suami istri Robert Aritonang dan Polinawaty S. meminta PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Bumi Sawindo Permai (BSP) untuk menghentikan aktivitas penggusuran di lahan miliknya.
Pasalnya, lahan tersebut saat ini masih bersengketa dan berproses persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IB Muara Enim.
“Kami melakukan permohonan kepada Majelis Hakim supaya PTBA dan PT BSP menyetop seluruh aktivitas di atas lahan yang masih disengketakan karena sampai sekarang mereka masih menggusur di lokasi tanah kita,” ujar Polinawaty S. kepada awak media usai menjalani sidang dengan agenda pembuktian, di PN Muara Enim, Senin (14/4/2025).
Menurut Polinawaty, luas lahan yang disengketakan tersebut seluas 66,72 hektare di Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumsel.
Pihaknya telah menyerahkan bukti surat-surat kepemilikan lahan kepada Majelis Hakim PN Muara Enim melalui kuasa hukumnya.
“Sekarang ini dalam proses hukum, jadi kita maunya saling menghargai satu sama lain, kita selesaikan dulu sidang biar nanti Majelis Hakim memutuskan. Kondisi sekarang lahan kami sudah digarap yang berisi kebun kelapa sawit produktif sudah rata dengan tanah karena telah digarap,” terangnya.
Dalam persidangan yang dipimpin langsung oleh Majelis Hakim yang diketuai Ari Qurniawan, S.H., M.H, lanjut Polinawaty, akan mempertimbangkan permohonannya selaku penggugat setelah melihat bukti-bukti kepemilikan lahan tersebut. Selain itu, Hakim juga meminta bukti bahwa PTBA dan BSP memang masih melakukan penggusuran.
“Nanti kami akan ke lokasi untuk mengambil bukti-bukti jika PTBA dan BSP masih beroperasi untuk diserahkan kepada Majelis Hakim,” tuturnya.
Polinawaty juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Majelis Hakim yang memberikan kesempatan untuk melakukan pembuktian.
“Kami yakin Yang Mulia Hakim orang yang jujur dan baik serta akan memberikan keputusan seadil-adilnya,” tutupnya.
Kuasa Hukum Penggugat Sabar Ompu Sunggu, S.H., M.H., Alexander Ompu Sunggu, S.H. dan Supendi, S.H., M.H. merasa sangat kecewa dan dirugikan dengan sikap PTBA dan BSP yang seakan-akan tidak menghormati hukum.
“Para tergugat ini seakan tidak ada lagi hukum, mereka masih melakukan pengerjaan kegiatan di tanah sengketa, seharusnya kalau menghormati hukum ketika kita daftarkan gugatan itu dianggap lahan status quo secara hukum,” ujar Sabar.
Sabar mengatakan, kliennya sudah menghabiskan semua harta dari hasil keringatnya sendiri untuk mempertahankan lahannya, dengan harapan lahan itu bisa menghidupi keluarganya.
“Saya juga telah meminta kepada Majelis Hakim agar dilakukan tindakan-tindakan maupun imbauan agar dihentikan aktivitas di lokasi,” katanya.
Sabar menuturkan, penguasaan lahan secara fisik selama ini milik kliennya, sehingga penggusuran sepihak yang dilakukan PTBA dan BSP ini bisa dikatakan pengrusakan dan pemaksaan untuk mengintimidasi.
“Hentikan sementara aktivitas, jangan sampai nanti kami yang melakukan juga kegiatan di sana, terjadi gesekan-gesekan bisa saja pertumpahan darah,” tuturnya.
Sabar juga berharap agar Presiden RI Prabowo Subianto dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk turun langsung melihat masyarakat kecil yang membutuhkan keadilan.
“Kami memohon kepada Presiden Prabowo menindak tegas semua yang melakukan penyerobotan terhadap tanah klien kami. Jangan hanya politis-politis saja, tapi masyarakat kecil kita benahi supaya negara kuat,” harapnya.
Duduk perkara dugaan penyerobotan lahan milik Robert Aritonang dan Polinawaty S. oleh PTBA dan PT BSP ini telah berlarut-larut selama 3 tahun tanpa adanya penyelesaian.
PTBA dan PT BSP diduga melakukan penyerobotan dan penambangan hingga merusak lahan pasutri yang telah ditanami kelapa sawit tanpa adanya ganti rugi.
Sebagai warga negara yang taat hukum, Robert Aritonang dan Polinawaty S. memutuskan menggugat PTBA dan PT BSP secara hukum ke Pengadilan Negeri Muara Enim. Sidang saat ini masih terus bergulir dan telah memasuki agenda pembuktian.
Sementara itu, Kuasa Hukum PT BSP Dr. Firmansyah, S.H., M.H. mengatakan bahwa, pihak penggugat 1 dan 2 sudah memberikan sebanyak 30 bukti tertulis kepada Majelis Hakim dan di akhir persidangan mereka mengajukan putusan provisi, yakni penghentian sementara aktivitas penambangan. Hal tersebut akan dipelajari dahulu oleh Majelis Hakim.
“Untuk bukti-bukti, kita juga akan membuktikan pada persidangan tanggal 21 April 2025, sedangkan untuk penghentian itu bukan kewenangan kami (BSP, red), tetapi PTBA dan sudah mereka jawab dalam persidangan sebelumnya,” pungkasnya. (Aal)